Sekitar 5,4 Juta Perempuan Indonesia Masih Buta Huruf

BANDUNG, TEL-U – Bangsa Indonesia, khususnya kaum perempuan, baru saja merayakan Hari Kartini yang jatuh setiap tanggal 21 April. Namun nasib perempuan Indonesia ternyata belum sepenuhnya baik khususnya di bidang pendidikan. Data Keller (2015) menyebutkan bahwa saat ini jumlah penduduk dunia yang buta huruf mencapai 774 juta jiwa, di mana 493 juta di antaranya adalah perempuan. Sementara di Indonesia, sebanyak 8,5 juta orang dinyatakan buta huruf, dan 64% dari jumlah itu atau sekitar 5,4 juta jiwa adalah perempuan.

Hal ini terungkap dalam diskusi terbuka bertema “Perempuan dan Literasi”, di Ruang Audio Visual Telkom University Open Library Gedung Bangkit Lantai 4, Senin (18/4/16). Diskusi menghadirkan pembicara Aquarini Priyatna, MA, MHum, PhD. Menurutnya meliterasi dan memberdayakan perempuan berarti meningkatkan kualitas hidup komunitas di mana perempuan itu berada. “Sayangnya, perempuan masih mengalami diskriminasi dalam hal literasi atau pendidikan baik di Indonesia maupun dunia,” katanya.

Menurut Aquarini, masalah literasi ini bukan hanya berkaitan dengan kemampuan menulis dan membaca, akan tetapi juga menyangkut pengetahuan dasar. Bekal ini sangat diperlukan perempuan untuk dapat memberikan kontribusi maksimal bagi komunitasnya, dan terhindar dari perilaku diskriminasi dalam masyarakat.

“Berdasarkan penelitian, isu literasi itu selain berkenaan dengan persoalan gender, juga menyangkut masalah geografis, kelas sosial, dan ekonomi. Hal ini dapat kita lihat dari jumlah perempuan Indonesia yang terdidik mayoritas berada di perkotaan, yang memiliki akses terhadap sumber finansial serta sarana dan prasarana,” ujarnya.

Di tingkat pendidikan tinggi misalnya, hanya 6,62 persen perempuan Indonesia yang berhasil menyelesaikan pendidikan tinggi. Sementara laki-laki bergelar sarjana angkanya mencapai 7,21 persen. Dari angka tersebut, 10,24 persen perempuan yang berhasil jadi sarjana berada di perkotaan, sedangkan 2,90 persen berasal dari pedesaan.

Dalam sebuah penelitian Aquarini juga menemukan bahwa jumlah pendaftar perempuan ke perguruan tinggi sesungguhnya lebih besar dari jumlah pendaftar laki-laki. Anehnya, jumlah perempuan yang berhasil lulus justru lebih kecil dari laki-laki. Masalahnya ternyata terletak pada diskriminasi terhadap perempuan dalam proses pendidikan tinggi tersebut. “Salah satu contoh yang paling sederhana adalah sarana kampus yang tidak pro terhadap kondisi perempuan yang bisa hamil dan menyusui. Pasalnya, banyak sekali kampus yang tidak menyediakan fasilitas lift serta ruang menyusui untuk mahasiswinya,” ujarnya.

“Belum lagi diskriminasi dalam budaya kampus itu sendiri. Sebut saja ketika pemilihan ketua BEM, sering sekali terjadi mahasiswi dilarang untuk mencalonkan diri menjadi ketua BEM karena dia perempuan. Perilaku ini telah menghambat perempuan untuk berorganisasi yang merupakan tiket berjejaring, sehingga dia melewatkan kesempatannya untuk mengembangkan diri, dan mendapatkan akses untuk menjadi sukses,” katanya. (purel/lib/raf)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *