Penulis: Andry Alamsyah[1] dan Ibrahim Kholilul Rohman[2]
Teknologi telah menjadi bagian kehidupan yang memunginkan berbagai macam aktivitas berkembang melalui eksplorasi hal-hal baru yang tidak ada sebelumnya. Disrupsi tersebut ditemukan baik dalam interaksi antar masyarakat lewat media sosial, maupun aktivitas ekonomi yang semakin pesat melalui platform e-commerce.
Sayangnya, di tengah kemajuan tersebut, terdapat keterbatasan dari teknologi Web 2.0 sebagai dasar perkembangan ekonomi digital saat ini. Di Web 2.0, interaksi sosial yang terbentuk masih bergantung kepada fungsi intermediasi melalui penyedia layanan jejaring sosial seperti Facebook, Twitter, dan sebagainya, sementara aktifitas transaksi ekonomi tergantung kepada platform e-commerce atau financial technology (fintech) sebagai sarana transaksi pembayaran. Intermediator ini berperan dalam mempertemukan penjual dan pembeli, menyediakan layanan pembayaran, dan mengkurasi isi informasi serta profiling penggunanya.
Sehingga salah satu kelemahan dari internet terpusat Web 2.0 adalah ketidakmampuan pengguna dalam mengontrol data pribadi yang memunculkan eksploitasi data-data tersebut untuk kepentingan korporasi dibalik personalisasi layanan yang kadang terlihat gratis. Dengan dukungan data pengguna yang masif, korporasi besar seperti Apple, Microsft, Google, Facebook, dan Amazon mendapatkan banyak sekali data sebagai new oil memanfaatkan peranannya dalam pasar dua sisi (two-sided market) di mana personalisasi layanan memungkinkan agregasi data secara dari para pengguna untuk kemudian dimonetisasi secara langsung maupun tidak langsung.
Celah ini yang kemudian melahirkan teknologi internet berbasis Web 3.0 yang merupakan evolusi selanjutnya dari Web 2.0. Teknologi ini menawarkan kemampuan transaksi aset digital secara end-to-end dimana pengguna memiliki otoritas dalam mengontrol data pribadi. Teknologi ini dibangun diatas fondasi teknologi Blockchain yang memungkinkankan pendaftaran peer-to-peer digital yang mencatat dan menyimpan transaksi antar pihak di mana setiap pihak memiliki akses terhadap transaksi yang dicatat dalam suatu buku besar (ledger). Selanjutnya pencatatan ini memungkinkan mata rantai informasi (atau transaksi) tersimpan secara kronologis dan permanen. Meksipun di Indonesia blockchain lebih diasosiasikan dengan uang kripto, secara global teknologi ini dipakai dalam bidang logistik, sertifikasi kepemilikan tanah, dan fungsi-fungsi lain.
Dalam web 3.0, teknologi Blockchain mensyarakatkan pengguna mempunyai digital wallet sebagai representasi identitas dalam proses pengiriman uang (cryptocurrency) atau aset (cryptoasset) secara langsung tanpa perantara seperti bank. Dengan demikian privasi dari pengguna terjaga dimana sifat semua transaksi atau pencatatan data bersifat transparan. Transparansi ini juga mendukung naiknya kepercayaan antar entitas di dalam suatu komunitas atau masyarakat.
Metaverse dalam Web 3.0 adalah evolusi selanjutnya dari Internet yang saat ini ada. Dengan teknologi ini, pengguna mendapatkan pengalaman lebih dalam dimana batas antar ruang digital dan analog akan semakin kabur. Hal yang membuat Metaverse menarik adalah ide dunia yang konsepnya berbeda dengan dunia nyata memungkinkan peluang monetisasi dari lahirnya interaksi sosial yang lebih canggih.
Metaverse didorong oleh dua faktor perkembangan teknologi: faktor frontend (tampilan) adalah evolusi dari industri game, seperti penggunaan Augmented Reality-Virtual Reality (AR/VR), dan faktor backend yang merupakan implementasi masif dari teknologi blockchain. Warga metaverse berinteraksi dan bermain seperti bermain game (gamification), membangun dunia secara kolektif melalui mekanisme play to earn. Tidak hanya pembangunan fisik, tetapi juga melalui pembangunan pemerintahan menggunakan mekanisme pencapaian konsensus melalui voting.
Kesepakatan pengaturan sosial tercatat dalam smart contract, analoginya seperti Undang-Undang yang berlaku di dunia nyata, sekaligus sebagai perangkat penegakan hukum. Jika terdapat pelanggaran, maka smart contract secara otomatis akan mengeluarkan aktor atau entitas pelanggar dari dunia metaverse. Aktivitas ekonomi juga mendapatkan porsi penting seiring dengan meningkatkan interaksi sosial. Dalam hal ini crypto currency dan crypto asset berperan sebagai representasi uang dan barang di metaverse.
Selain itu, Non-Fungible Token (NFT) akan bertindak sebagai sertifikat kepemilikan barang digital. Seiring dengan meningkatnya jual beli karya seni melalui NFT di platform semacam Opensea, maka NFT juga digunakan di metaverse. Crypto asset dalam bentuk NFT akan digunakan sebagai representasi barang sebagaimana kepemilikan tanah di dunia nyata. Generasi muda yang terbiasa dengan role-playing game akan mendapatkan kesempatan untuk melakukan aktualisasi dari kesempatan untuk membangun dunia metaverse sebagaimana yang mereka lakukan dalam perangkat video game. Bedanya mereka benar-benar akan menikmati monetisasi dari aktifitas yang mereka lakukan lewat Metaverse ini.
Letupan teknologi ini akan membawa pada peningkatan nilai ekonomi yang luar biasa. Saat ini, nilai dari gross-merchandise value (GMV) dari industri digital Indonesia sudah tercatat sebesar 70 Milyar USD pada tahun 2021 dan diproyeksikan akan mencapai 146 Milyar USD pada tahun 2025. Nilai ini setara dengan gabungan GMV dari Thailand, Vietnam dan Malaysia. Metaverse memungkinkan nilai ekonomi yang jauh lebih eksplosif baik secara langsung maupun secara tidak langsung dengan berbagai kemungkinan inovasi.
Secara langsung, nilai ekonomi akan terdorong dengan semakin besarnya kebutuhan hardware dan software dalam pembentukan ekosistem metaverse. Data dari Fitch connect menunjukkan bahwa sampai dengan tahun 2021, Indonesia memiliki peningkatan belanja perangkat IT yang luar biasa: meliputi software sebesar 35 Milyar USD dan hardware sebesar 55 Milyar USD. Biaya untuk kebutuhan belanja cloud juga meningkat dengan tajam yaitu sebesar 30 Milyar USD pada tahun 2021 dan diprediksi akan meningkat menjadi 125 Milyar USD dalam lima tahun ke depan. Besaran kebutuhan infrastruktur IT ini akan memiliki dampak pengganda luar biasa terutama jika didorong oleh backward dan forward linkage dari industri domestik. Jika kita merujuk pada perhitungan paling konvensional bahwa koefiesin multiplier dari sector IT adalah 2 sesuai dengan penelitian Raul Katz pada tahun 2010, angka ini sudah cukup memberikan justifikasi bahwa pada setiap Rp 1 permintaan produk IT di atas akan menggandakan nilai ekonomi sebesar Rp 2.
Selanjutnya, secara tidak langsung pembentukan nilai ekonomi juga akan didorong oleh lahirnya aset-aset digital yang tercipta secara terdesentralisasi seperti NFT dan blockchain-based cryptocurrency. berdasarkan data dari Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti), saat ini terdapat 7,5 juta penduduk Indonesia bertransaksi crypto dibandingkan dengan tahun 2020 yang baru mencapai empat juta orang. Dari sisi volume, nilai transaksi crypto telah mencapai Rp 478,5 triliun hingga Juli 2021 yang merupakan jumlah yang cukup substansial setara denganr 6% dari seluruh nilai uang beredar (M2) Bank Indonesia yang sebesar Rp 7572 triliun hingga November 2021.
Kunci dari transformasi digital Metaverse ini akan terletak pada kesiapan masyrakat untuk tetap menyadari potensi biaya dan manfaat dari setiap pilihan investasi yang mereka akan lakukan di Metaverse, sama halnya dengan ketika mereka melakukan investasi di portofilio investasi konvensional.
Note: Artikel ini sudah dipublikasikan di Koran Kontan, Edisi 1 Maret 2022
[1] Associate Professor – Telkom University
[2] Dosen Ekonomi Digital-FEB Universitas Indonesia