Bandung, Telkom University – Telkom University sebagai PTS No. 1 di Indonesia terus menciptakan karya-karya kreatif yang beragam. Hal ini tercermin dari kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan. Salah satunya yaitu acara Swastamita 2020.
Swastamita merupakan acara tahunan Program Studi S1 Kriya Tekstil dan Fashion sekaligus acara penghujung kepengurusan Himpunan Mahasiswa SERAT. Swastamita ini diikuti oleh peserta tugas akhir 2020 dan mahasiswa tingkat tiga dan empat.
Swastamita diselenggarakan sebagai media publikasi karya-karya terbaik dari mahasiswa program studi S1 Kriya Tekstil dan Fashion. Karya yang ditampilkan berupa busana, aksesoris, surface dan structure design textile dan fabric arts. Swastamita 2020 ini menampilkan 112 karya tugas akhir mahasiswa program studi S1 Kriya dan diselenggarakan pada 13 Oktober hingga 3 November 2020.
Closing Ceremony diselenggarakan pada Selasa (3/11) melalui Zoom dan disiarkan langsung melalui YouTube dan diikuti partisipan dari berbagai kalangan antara lain akademisi, industri kreatif, start local brand hingga rekan-rekan admisi dari mancanegara seperti UiTM Perak Malaysia.
Acara ini mengundang dua pembicara yaitu John Martono, S.Sn., M.Sn selaku akademis dan praktisi dibidang kerajinan dan Harry Anugrah Mawarda, S.Ds., M.Ds selaku Executive Director KREASI Jabar.
Swastamita 2020 ditutup dengan Creative talk #3 dengan tema ‘Craft and Fashion Industries on the New Normal’. Tema tersebut diambil sesuai dengan keadaan pandemi saat ini. Kriya dan Fashion merupakan salah satu sektor yang terkena dampak signifikan. Tidak sedikit pelaku-pelaku industri Kriya dan Fashion yang akhirnya harus berusaha keras agar dapat bertahan dan beradaptasi terhadap situasi yang terjadi saat ini.
John Martono menjelaskan bahwa untuk dapat beradaptasi, kita harus mengembangkan hal-hal yang sudah ada. Jadi, ilmu ini tidak akan berkembang jika kita hanya sekadar menerima ilmu tersebut tanpa mengembangkannya.
“Dalam pengalaman saya, kita harus keluar dari hal dasar seperti itu. Kita mau membuat apa nih? Sesungguhnya supaya terjadi alternatif atau kemudian ada kemungkinan-kemungkinan baru dunia kreatif, kita harus breakdown dan berpikir mengenai karya-karya baru, menjadi khasanah yang semakin bagus bagi ilmu yang kita pelajari,” ucapnya.
John juga menambahkan bahwa kita harus fokus pada cara untuk membangun dan mengembangkan pikiran dan hal yang sudah kita dapatkan. Kemudian kita harus terus mengembangkan karya-karya yang menjadi langkah selanjutnya dalam membuat karya kedepannya.
“Dalam seni, kita diselamatkan oleh skill yang kita miliki. Skill dalam membuat sebuah karya, dan kemampuan basic yang kita dapatkan di sekolah sebenarnya menjadi dasar yang akan menemani kita sampai di tahap-tahap lain setelah kita sekolah.”
John berpesan agar di masa pandemi seperti ini, kita dapat saling menguatkan dan bersama-sama membangun situasi dalam konteks seni rupa membuat kehidupan semakin baik dan itu dapat dilakukan dengan kolaborasi dengan ilmu-ilmu yang lain. Kedepannya dalam dunia kriya dan fashion, kita tidak perlu khawatir karena setiap karya memiliki pasar masing-masing.
Harry Anugrah Mawarda juga menjelaskan bahwa di masa pandemi, ekonomi kreatif merupakan salah satu yang terdampak paling cepat dan paling signifikan. Namun tidak perlu menunggu waktu lama, sektor ini juga yang paling cepat bangkit dengan bantuan teknologi digital, naiknya konsumsi streaming dan layanan logistik delivery.
“Untuk merespon kondisi new normal, ada tiga fase untuk menghadapi hal tersebut yaitu recovery, reconfigure dan regrow. Kita harus mampu beradaptasi dari kebiasaan yang sebelumnya kita lakukan,” ucapnya.
Untuk melihat potensi di dunia kriya, kita harus memiliki data yang akurat. Berdasarkan data, di bulan Maret masyarakat banyak yang tertarik pada seni kriya. Hal tersebut dapat dilihat pada ketertarikan masyarakat untuk mendekor rumahnya untuk menumbuhkan suasana yang nyaman selama di rumah. Ini merupakan salah satu hal menarik dan menunjukkan bahwa seni kriya menunjukkan perannya di era new normal.
Fenomena tersebut merupakan efek dari pandemi, sehingga pasar new normal ini salah satunya pada seni kriya. Kita sebagai seniman harus bisa melihat peluang dan mampu menciptakan seni yang bernilai komersil tinggi.
“Data menjadi penting karena ketika kita mau mengangkat level kerajinan, kita harus tepat sasaran seni kriya yang banyak dicari dan digunakan oleh masyarakat saat pandemi ini. Harapannya, semoga kita dapat membuat kreator-kreator baru yang bisa menggunakan konsep-konsep teknologi sehingga dapat menunjang ekonomi kreatif di Indonesia.”