Telkom University โ Budaya adalah nafas yang menghidupkan identitas suatu bangsa. Di tengah derasnya arus modernisasi, seni tari tradisional tetap berdiri teguh sebagai penjaga nilai-nilai yang diwariskan dari generasi ke generasi. Di antara beragam kekayaan budaya Indonesia, Jawa Barat memiliki dua tarian yang tak hanya memukau secara visual, tetapi juga kaya akan makna dan sejarah yaitu Tari Topeng dan Tari Jaipong.
Tari Topeng berasal dari Cirebon. Ciri khas dari tarian ini adalah para penari mengenakan topeng yang berbeda-beda. Setiap topeng mewakili karakter tertentu, menciptakan makna yang kuat dalam setiap gerakannya. Sebelum mengenakan topeng, penari juga harus memakai penutup kepala yang disebut Sobra, lengkap dengan dua sumping dan jamangan sebagai bagian dari ritual persiapan.
Topeng-topeng tersebut bukan sekadar pelengkap visual, melainkan simbol dari filosofi mendalam yang mencerminkan perjalanan kehidupan dan sifat manusia. Topeng Panji melambangkan kesucian dan kelembutan hati, mencerminkan fase awal kehidupan yang penuh ketenangan. Topeng Samba (atau Pamindo) menggambarkan masa muda yang penuh semangat, keceriaan, dan rasa ingin tahu. Selanjutnya, Topeng Rumyang merepresentasikan kedewasaan dan kebijaksanaan, di mana seseorang mulai menemukan jati dirinya. Topeng Patih mencerminkan kekuatan, keberanian. Serta Topeng Kelana (sering diidentikkan dengan tokoh Rahwana) yang melambangkan nafsu, amarah, dan kekuasaan yang sering kali membawa pada konflik batin.
Dalam pertunjukannya, Tari Topeng juga kerap diiringi oleh dua lagu tradisional yaitu Sarung Ilang dan Gonjong. Tarian ini telah menjadi bagian dari budaya Nusantara sejak masa Kerajaan Jenggala pada abad ke-10 hingga ke-11 Masehi, menjadikannya salah satu bentuk kesenian tertua yang masih lestari hingga kini.
Sementara itu, Tari Jaipong berasal dari Karawang yang diciptakan pada tahun 1976 oleh dua seniman yaitu Gugum Gumbira dan H. Suwanda. Kelahiran Tari Jaipong merupakan hasil kolaborasi dan pengembangan dari berbagai kesenian tradisional Sunda seperti ketuk tilu, pencak silat, dan wayang golek.
Ciri khas utama dari Tari Jaipong terletak pada gaya penyajiannya dengan penuh semangat. Tari ini memiliki dua bentuk penyajian berdasarkan wilayah perkembangannya yaitu Ibing Pola (Bandung) dan Ibing Saka (Karawang dan Subang).
Ibing pola umumnya dibawakan oleh seorang penari tunggal atau dikenal dengan nama Sinden Tatandakan. Rangkaian geraknya sendiri sudah ditentukan dan dibakukan dengan mengikuti pola tetap sesuai dengan pakem-pakem yang ada. Untuk penari pemula, Ibing Pola menjadi dasar atau fondasi dalam pelatihan tari Jaipong, unsur ini penting untuk melatih teknik dasar dan pemahaman ritme tari. Sedangkan Ibing Saka dibawakan dengan gerakan yang lebih enerjik, ekspresif dan improvisasi. Dalam Ibing Saka, bagian paling menonjol dari segi teknik, ekspresi, dan energi. Hal ini menjadikan Jaipong sangat populer di kalangan masyarakat, bahkan hingga mancanegara.
Sebagai bagian dari warisan budaya bangsa, kedua tarian ini memiliki nilai penting yang harus terus dijaga dan dilestarikan. Melalui pendidikan seni, pertunjukan budaya, dan pelatihan tari, diharapkan dapat terus menjadi salah satu cara melestarikan kekayaan budaya daerah yang dimiliki.
Sebagai institusi pendidikan tinggi, Telkom University (Tel-U) turut ambil bagian dalam pelestarian budaya ini. Melalui program studi seperti S1 Kriya Tekstil dan Fashion, Fakultas Industri Kreatif, Tel-U berperan dalam merancang dan mengembangkan kostum tari tradisional yang tidak hanya indah secara estetika, tetapi juga mendukung ekspresi gerak penari. Kepekaan desain sangat diperlukan dalam menciptakan pakaian untuk Tari Jaipong dan Tari Topeng, karena keduanya menyimpan simbol dan identitas budaya Sunda yang kental.
Selain itu, di Tel-U juga tersedia Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Bengkel Seni Embun, yang bisa menjadi wadah bagi mahasiswa Tel-U untuk menyalurkan dan mengembangkan minat serta bakat mereka di bidang seni, seperti musik, tari, teater, hingga penyelenggaraan acara seni.
Sebagaimana para penari yang harus menjiwai saat menampilkannya, kita pun diajak untuk lebih dari sekadar menyaksikan tetapi turut memahami dan meresapi makna di balik setiap gerakan dan irama. Menari bukan sekadar bergerak namun ia adalah bahasa jiwa, warisan leluhur, dan wujud cinta kita kepada budaya bangsa.
Penulis: Aprilia Sekar N | Editor: Adrian Wiranata | Foto: Pariwisata Indonesia