Bandung, 16 Mei 2025 – Telkom University (Tel-U) melalui Fakultas Komunikasi dan Ilmu Sosial (FKS) berkolaborasi dengan Center Of Excellence (COE) DICTUM menyelenggarakan seminar ilmiah bertajuk ‘How Do the Invisible Hands of Social Media Algorithms Shape the Future of Indonesia’s Freedom of Expression?’ pada Kamis (15/5) di Aula Lantai 5 Gedung Intata Tel-U.
Seminar ini menghadirkan dua narasumber profesional, yaitu Prof. Merlyna Lim (Canada Research Chair Professor, Carleton University) dan Dr. Alila Pramiyanti (Dosen Ilmu Komunikasi Telkom University), dengan Dr. Rana Akbari Fitriawan sebagai moderator. Dihadiri oleh peserta dari kalangan mahasiswa dan akademisi, seminar ini menjadi wadah diskusi ilmiah mengenai bagaimana algoritma media sosial mempengaruhi kebebasan berekspresi di Indonesia.
Acara dibuka dengan sambutan dari Dekan FKS, Dr. Iis Kurnia Nurhayati, S.S., M.Hum., yang menyoroti bahwa seminar ini mengangkat topik yang sangat relevan dengan situasi global saat ini, khususnya terkait perkembangan lanskap digital.
“Topik dari seminar ini sangat relevan dengan kondisi dunia saat ini, di mana lanskap digital—terutama media sosial—tidak lagi hanya berfungsi sebagai sarana komunikasi dan ekspresi, tetapi juga menjadi medium utama dalam pembentukan opini publik. Ekosistem digital saat ini memiliki pengaruh yang sangat besar dalam membentuk persepsi, menyebarkan nilai-nilai budaya, serta memperkuat identitas individu dan kolektif di tengah masyarakat global,” ungkap Dr. Iis.
Dalam pemaparannya, Prof. Merlyna Lim membahas secara mendalam peran algoritma media sosial mempengaruhi arah kebebasan berekspresi di Indonesia. Menurutnya, algoritma tidak hanya bekerja sebagai sistem teknis, tetapi juga berinteraksi erat dengan prinsip-prinsip pemasaran dan komersialisasi seperti pernyataan dalam buku terbarunya berjudul Social Media and Politics in Southeast Asia.
“Terdapat hubungan saling bergantung antara cara kerja algoritma dan prinsip pemasaran yang secara otoritatif membentuk peredaran, visibilitas, dan popularitas suatu konten di kalangan pengguna media sosial.” — Lim, 2024
Ia juga menekankan bahwa media sosial saat ini telah berubah menjadi arena kekuasaan yang dikendalikan oleh algoritma, kapitalisme platform, dan budaya popularitas.
“Ini bukan isu yang bisa dianggap sepele, melainkan sebuah kondisi yang cenderung darurat dan harus segera mendapat perhatian serius. Enklave algoritmik serta polarisasi afektif menjadi ancaman nyata bagi kesehatan demokrasi digital di Asia Tenggara,” tegas Prof. Merlyna.
Sementara itu, Dr. Alila Pramiyanti membahas keterkaitan antara algoritma media sosial dengan kekerasan berbasis gender online (KBGO). Ia menyampaikan bahwa media sosial bukanlah ruang yang netral, melainkan ruang yang dikendalikan oleh logika kapitalisme.
“Platform sosial media itu kapitalis, tidak ada yang benar-benar bertujuan untuk empowering. Semakin banyak konten yang dibagikan, semakin besar keuntungan untuk platform, bukan untuk korban,” ujar Alila.
Dr. Alila juga menggarisbawahi bagaimana algoritma dapat memperburuk situasi korban KBGO. Sistem yang menampilkan konten serupa secara berulang dapat menyebabkan korban mengalami chilling effect, yakni merasa bungkam dan tidak lagi mampu mengekspresikan dirinya.
“Di Indonesia, kekerasan baru akan dianggap serius kalau sudah viral atau dialami oleh orang-orang yang punya pengaruh. Kalau masyarakat biasa, seringkali dianggap hal yang normal. Padahal, yang paling berbahaya bukan hanya pelaku, tapi juga mereka yang menormalkan kekerasan itu,” jelasnya.
Seminar ini menjadi momentum penting untuk mengajak mahasiswa, akademisi, dan masyarakat luas agar lebih kritis dan sadar akan dinamika di balik penggunaan media sosial. Dengan pemahaman yang lebih dalam mengenai peran algoritma dan kapitalisme platform, diharapkan tercipta upaya kolektif untuk menjaga kebebasan berekspresi sekaligus mengurangi dampak negatif kekerasan berbasis gender online.
Penulis: Emmeline Shayna Gunawan | Editor: Abdullah Adnan | Foto: Public Relations