Bandung, 25 September 2024 – Pesatnya kemajuan digital turut meningkatkan risiko pada keamanan data pribadi. Semakin maraknya kejahatan digital seperti pencurian data pribadi tidak jarang menimbulkan keresahan tersendiri. Padahal, data pribadi yang terlindungi termasuk ke dalam salah satu hak asasi manusia yang harus dihargai. Berdasarkan hal tersebut, Pemerintah Indonesia mengesahkan regulasi yang mengatur pelindungan data pribadi. Regulasi tersebut diatur dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP).
Kemunculan regulasi tersebut tentu berimplikasi pada berbagai bidang termasuk lini bisnis yang tentu menyimpan banyak data pribadi, termasuk data konsumen. Terlebih pada suatu bisnis, kepercayaan publik merupakan salah satu modal utama yang memiliki pengaruh signifikan sehingga harus dirawat dengan konsisten. Kepercayaan terhadap suatu perusahaan dapat dibangun melalui berbagai cara, termasuk ketaatan perusahaan terhadap aturan atau regulasi yang berlaku.
Kondisi ini menarik perhatian sejumlah dosen yang tergabung dalam Center Of Excellence (COE) Sustainable Governance (BEST), Telkom University (Tel-U) dalam memberikan sudut pandang sebagai akademisi. Untuk itu, Astadi Pangarso (Dosen S1 Administrasi Bisnis, Fakultas Ekonomi dan Bisnis), Erna Hikmawati (Dosen D3 Rekayasa Perangkat Lunak Aplikasi, Fakultas Ilmu Terapan), dan Heru Nugroho (Dosen D4 Sistem Informasi Kota Cerdas, Fakultas Ilmu Terapan) menerbitkan whitepaper berjudul “UU Pelindungan Data Pribadi di Indonesia dan Implikasinya terhadap Bisnis” yang merangkum analisis terperinci mereka mengenai dampak dari peraturan baru ini.
“Jika perusahaan atau bisnis telah memahami secara konseptual terhadap urgensi kepatuhannya akan suatu aturan, maka secara teknis harus ada sistem tata kelola yang dapat menunjang hal tersebut. Terlebih dalam hal ini, sistem yang dibuat harus mampu secara detail mengelola data-data. Menentukan dengan jelas data yang harus disimpan, data yang dapat bersifat terbuka atau tidak, pengaturan akses terhadap data, dan aspek-aspek detail lainnya, karena konsumen tentu menginginkan datanya terjaga dengan aman,” jelas Astadi.
Sebagai ketua tim peneliti, Astadi juga menyampaikan bahwa keterlibatan akademisi tidak sekadar memberikan analisis yang objektif, melainkan berperan penting dalam membuat suatu prediksi. Keleluasaan kolaborasi akademisi juga menambah potensi dalam mewujudnyatakan suatu tata kelola tersebut dari ragam keilmuan, dalam hal ini berarti kolaborasi antara keilmuan bisnis dengan ilmu teknis seperti sistem informasi atau rekayasa perangkat lunak. Dengan demikian, solusi berupa sistem pengawasan atau aplikasi yang dihasilkan dapat lebih bertanggung jawab dan memiliki prosedur yang jelas.
“Hadirnya whitepaper ini adalah suatu tahap fundamental mengenai aspek hasil yang dapat ditawarkan. Sebagai akademisi, kami tentu menawarkan nilai-nilai yang berdasar ilmiah dan sistematik sehingga dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, kami berharap dapat memberikan kontribusi terbaik melalui solusi yang terbaik bagi bisnis-bisnis yang terkait dengan data konsumen,” harap Astadi dalam menutup wawancara dengan pada Tim Public Relations Tel-U pada Rabu (25/9).
Penulis: Aqila Zahra Qonita | Editor: Adrian Wiranata | Foto: Narasumber