Impostor syndrome merupakan salah satu fenomena psikologis yang sering dikaitkan dengan gejala low self efficacy (rendahnya kepercayaan diri). Fenomena ini menjadi salah satu gangguan yang membuat seseorang menjalani hidup dengan rasa keraguan atas dirinya sendiri seperti mereka kurang cerdas, tidak berpengalaman, atau tidak cukup kompeten dan lain sebagainya. Penderita impostor syndrome memiliki keyakinan bahwa seluruh prestasi dan pencapaiannya tidak lebih dari sebuah keberuntungan daripada keterampilan yang memang benar-benar dia miliki.
Impostor Syndrome pertama kali dikemukakan oleh Dr. Pauline Rose Clance dan Suzanne Imes pada tahun 1970-an. Mann mengungkapkan Impostor syndrome dialami oleh 70% manusia yang ada di seluruh dunia, setidaknya satu kali dalam masa kehidupan suatu individu. Munculnya impostor syndrome pada generasi Z disebabkan oleh rendahnya self-efficacy. Menurut Schlesselman, Kondisi ini dinilai akan memberikan dampak yang kurang baik bagi generasi Z untuk dalam dunia industri.
Banyak dampak buruk yang dirasakan oleh individu di tempat kerja yang mengakibatkan tekanan mengganggu terhadap performa dan kinerja mereka, seperti menyalahkan diri sendiri, overthinking, stress-eating, waktu tidur yang tidak teratur, dan rasa cemas berlebih. Perilaku-perilaku tersebut berdampak negatif terhadap kesehatan mental, produktivitas, kurangnya motivasi dan hilangnya rasa bahagia dalam menjalankan tugas mereka.
Dari fakta tersebut, sekelompok mahasiswa Telkom University menyadari bahwa fenomena ini banyak terjadi, khususnya pada generasi Z. Namun, kurangnya perhatian diberikan karena fenomena ini sulit disadari, karena tidak terlihat secara fisik, melainkan lebih menitikberatkan pada hal psikis interpersonal penderitanya saja. Untuk itu, mereka mencoba menanggapi fenomena tersebut secara serius untuk kepentingan dan kebermanfaatan sesama. Kelompok mahasiswa yang terlibat didalamnya ialah Annisa Jasmine (Digital Public Relations), Alip Rapsanjani (Digital Public Relations), Mita Marwatul Umah (Digital Public Relations), Michael Reyhan (Digital Public Relations), dan Iqbal Afriadi (Teknik Telekomunikasi). Kelimanya memutuskan melakukan sebuah penelitian yang berjudul โTantangan Impostor Syndrome pada Generasi Z dalam Menghadapi Dunia Industriโ.
โDalam penelitian ini, kami menulusuri dampak yang signifikan dari penderita Impostor Syndrome sebagai gambaran dunia industri yang penuh tekanan. Kami berbicara dengan individu inspiratif dari berbagai latar belakang yang berbeda untuk mendapatkan wawasan mendalam tentang fenomena ini yang dapat memengaruhi keyakinan diri, aspirasi, dan pencapaian mereka,โ jelas Annisa.
Sebagai upaya meningkatkan kesadaran impostor syndrom pada masyarakat, mereka juga melakukan aksi kampanye yang bertepatan pada Hari Kesehatan Mental Dunia tanggal 10 Oktober 2023 di lingkungan kampus Telkom University dengan memasang banner infografis berisi informasi mengenai impostor syndrom untuk memperkenalkan fenomena ini kepada mahasiswa yang akan berhadapan dengan dunia industri di masa depan.
Penelitian ini dikembangkan melalui Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) Bidang Riset Sosial Humaniora (PKM-RSH) yang diselenggarakan oleh Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan (BELMAWA) Telkom University dan berhasil memperoleh pendanaan dari KEMENDIKBUDRISTEK.
โSelama penelitian ini, kami menemukan cerita-cerita yang menginspirasi, tantangan yang dialami, dan strategi unik untuk mengatasi Impostor Syndrome. Kami percaya, dengan bersama-sama, kita dapat memahami lebih baik bagaimana masyarakat dapat mendukung Generasi Z dalam meraih potensi penuh mereka,โ ungkap Annisa.
Penulis: Annisa Jasmine | Editor: Daris Maulana | Foto: Public Relations